Saturday, June 16, 2012

Reformasi Pendidikan, Harus Bermakna.


Ada kegembiraan dalam hati masyarakat Indonesia saat ini. Yakni dengan adanya perubahan dalam tatanan kenegaraan, pasca orde baru. Paling tidak, kegembiraan menyikapi perubahan dalam sistem pemilihan umum, yang memberi peluang kepada rakyat memilih secara langsung presiden.
Keluarnya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai pemenang dalam pemilihan presiden secara langsung, dan dilantik sebagai presiden pada tanggal 20 Oktober 2004, sepertinya memberi angin segar kepada masyarakat. Hanya tentunya angin segar ini masih dalam bentuk harap-harap cemas. Sebab, memaknai angin segar ini, setelah melihat hasil kepemimpinan pemerintahan sebelumnya belum memberikan arti perubahan yang signifikan untuk menata kembali sebuah bangsa yang sedang morat-marit ini.
Harapan ini, tentunya wajar karena diterima atau tidak pendidikan adalah basis utama pembangunan negara. Di samping itu, harapan masyarakat terhadap kemajuan pendidikan, karena sering kali pendidikan menjadi tema sentral dalam kampanye menjelang pemilu. Sebagai contoh; pada kampanye Pemilu 1999, Megawati Soekarnoputri pernah menjanjikan akan menaikkan gaji guru sampai 500 % jika partainya menang. Dan pada Pemilu 2004, Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai Bulan Bintang dan para jurkam partai lainnya, dengan lantang menjanjikan pendidikan gratis pada jenjang pendidikan SD sampai SMA di negeri kita yang kaya dengan sumber daya alam ini.
Tetapi kenyataan bagaimana? Masyarakat dapat menilai realisasi dari para jurkam ini. Jangankan bagi partai yang kalah suara, PDI Perjuangan yang unggul dalam perolehan suara pada Pemilu 1999, bahkan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri berhasil menjadi meniti kursi Presiden lewat Sidang Istimewa MPR, ternyata tidak mampu membuktikan janjinya.
Sangatlah wajar, karena membenahi pendidikan tidak semudah memutar telapak tangan, menggoyangkan lidah, berucap dan memilih kata yang indah sehingga menjadi alat yang ampuh untuk menjaring minat rakyat untuk memilihnya. Pendidikan bukanlah satu-satunya hidangan yang tepat saat kampanye pemilu tiba. Pendidikan adalah sarana untuk mendewasakan rakyat dalam berpolitik, sarana untuk membina ketahanan sosial dan kultur masyarakat, dan sarana untuk menciptakan rakyat dan bangsa ini maju.

Kampanye SBY soal pendidikan

Bagaimana dengan SBY tentang pendidikan?
Sebagai pemenang pada pilpres 2004, para Tim Sukses SBY-Kalla juga banyak berbicara soal peningkatan mutu pendidikan, salah satu elemennya adalah perubahan sistem, peningkatan kesejahteraan guru, dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan.
Yang lebih menarik, bahwa kampanye digelar kerap dengan menampilkan dialog interaktif, sehingga harapan pendidikan lebih banyak menyentuh akar permasalahan. Sehingga
Berbagai persoalan menyangkut pendidikan semakin mencuat. Terutama yang berkaitan dengan finansial yang menjadi beban orang tua. Misalnya, uang DSP yang setiap tahun naik, pembelian buku pelajaran setiap semester, dan pungutan-pungutan lainnya yang insidentil.
Apabila diperhatikan, berbagai kritik soal pendidikan belum menyentuh pada esensi persoalan pendidikan yang sebenarnya sedang terjadi saat ini. Masyarakat, termasuk juga sebagian besar elit politik masih memandang bahwa pendidikan seperti komoditas konsumsi sesaat. Ibarat sebatang rokok yang hanya dapat dinikmati beberapa menit saja, sehingga layak mempertanyakan apabila harga sebatang rokok itu terus naik.
Pendidikan bukanlah komoditas yang hanya dapat dinikmati hari ini juga, pendidikan akan memberi refleksi kontinyu terhadap kehidupan seseorang yang menjalaninya. Sebut saja, seorang anak yang sedang sekolah di Perguruan Tinggi, akan memberi label kebanggaan pada keluarganya, akan mengerti dan memahami bagaimana cara berbuat baik pada orang tuanya, di samping memperoleh manfaat ilmu yang didapatnya. Dan yang lebih berharga, jika anak tersebut mampu mengaktualisasikan kompetensinya untuk hidup layak dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, refleksi pendidikan ini akan terus berlanjut dan membawa manfaat abadi bagi seseorang sepanjang hayatnya.
Dari contoh fenomena di atas, maka sebenarnya yang perlu dipikirkan saat ini adalah sejauh mana kompetensi kurikulum dapat ditransfer dan diaplikasikan pada siswa dan mahasiswa sehingga menjadi bekal yang optimal ke depan. Maka apabila hal ini yang terjadi, semahal apapun biaya yang dikeluarkan hari ini, ternyata tidak seberapa dibanding dengan kualitas dan manfaat pendidikan yang diperoleh anaknya untuk bekal kehidupan masa depannya.
Untuk memenuhi tuntutan kualitas tersebut, maka beberapa agenda pendidikan yang menjadi pekerjaan rumah sekarang, perlu dirumuskan melalui wacana berpikir logis. Tidak sebatas pakar dan praktisi pendidikan, tetapi orang tua dan masyarakat sebagai konsumen pun harus terlibat menyikapi pendidikan sebagai kebutuhan yang sangat prioritas. Apabila hal ini telah terjadi, maka sekerap apapun anak membeli buku, sepanjang buku tersebut memenuhi syarat bagi kebutuhan peningkatan kompetensinya, maka tidak akan menjadi beban dan keluhan orang tua seperti yang saat ini terjadi.
Negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Korean Selatan, termasuk Malaysia sekarang, memahami bahwa buku adalah konsumsi harian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya sehari-hari, terlebih anak sekolah sebagai generasinya. Sementara, masyarakat kita hanya sebagian kecil saja yang telah memiliki budaya baca, dan penasaran terhadap kehadiran buku-buku baru, sehingga terbiasa membagi keuangan untuk membeli buku secara rutin, meskipun koceknya tipis.
Ironis, apabila dalam konteks masyarakat saat ini, yang umumnya paling tidak telah mampu memiliki sepeda motor, di kampung sekalipun. Tetapi belum mampu mengkondisikan kebutuhan buku dalam kesehariannya, paling tidak untuk anaknya yang masih sekolah.
Maka, fenomena masyarakat seperti di atas menjadi sasaran empuk para jurkam untuk menarik suara pemilih dengan memanfaatkan momentum pendidikan yang terjadi saat ini. Dengan demikian, tema kampanye menyoal pendidikan, termasuk tim sukses SBY-Kalla, kiranya belum bisa diharapkan menjadi solusi peningkatan mutu pendidikan yang realistis. 

No comments:

Post a Comment