Ada kegembiraan dalam hati masyarakat Indonesia saat
ini. Yakni dengan adanya perubahan dalam tatanan kenegaraan, pasca orde baru.
Paling tidak, kegembiraan menyikapi perubahan dalam sistem pemilihan umum, yang
memberi peluang kepada rakyat memilih secara langsung presiden.
Keluarnya SBY
(Susilo Bambang Yudhoyono) sebagai pemenang dalam pemilihan presiden secara
langsung, dan dilantik sebagai presiden pada tanggal 20 Oktober 2004, sepertinya
memberi angin segar kepada masyarakat. Hanya tentunya angin segar ini masih
dalam bentuk harap-harap cemas. Sebab, memaknai angin segar ini, setelah
melihat hasil kepemimpinan pemerintahan sebelumnya belum memberikan arti
perubahan yang signifikan untuk menata kembali sebuah bangsa yang sedang
morat-marit ini.
Harapan ini,
tentunya wajar karena diterima atau tidak pendidikan adalah basis utama
pembangunan negara. Di samping itu, harapan masyarakat terhadap kemajuan
pendidikan, karena sering kali pendidikan menjadi tema sentral dalam kampanye
menjelang pemilu. Sebagai contoh; pada kampanye Pemilu 1999, Megawati
Soekarnoputri pernah menjanjikan akan menaikkan gaji guru sampai 500 % jika
partainya menang. Dan pada Pemilu 2004, Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum Partai
Bulan Bintang dan para jurkam partai lainnya, dengan lantang menjanjikan
pendidikan gratis pada jenjang pendidikan SD sampai SMA di negeri kita yang
kaya dengan sumber daya alam ini.
Tetapi kenyataan bagaimana? Masyarakat dapat menilai
realisasi dari para jurkam ini. Jangankan bagi partai yang kalah suara, PDI
Perjuangan yang unggul dalam perolehan suara pada Pemilu 1999, bahkan Ketua
Umumnya, Megawati Soekarnoputri berhasil menjadi meniti kursi Presiden lewat
Sidang Istimewa MPR, ternyata tidak mampu membuktikan janjinya.
Sangatlah
wajar, karena membenahi pendidikan tidak semudah memutar telapak tangan,
menggoyangkan lidah, berucap dan memilih kata yang indah sehingga menjadi alat
yang ampuh untuk menjaring minat rakyat untuk memilihnya. Pendidikan bukanlah
satu-satunya hidangan yang tepat saat kampanye pemilu tiba. Pendidikan adalah
sarana untuk mendewasakan rakyat dalam berpolitik, sarana untuk membina
ketahanan sosial dan kultur masyarakat, dan sarana untuk menciptakan rakyat dan
bangsa ini maju.
Kampanye SBY soal pendidikan
Bagaimana
dengan SBY tentang pendidikan?
Sebagai
pemenang pada pilpres 2004, para Tim Sukses SBY-Kalla juga banyak berbicara
soal peningkatan mutu pendidikan, salah satu elemennya adalah perubahan sistem,
peningkatan kesejahteraan guru, dan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan.
Yang lebih
menarik, bahwa kampanye digelar kerap dengan menampilkan dialog interaktif,
sehingga harapan pendidikan lebih banyak menyentuh akar permasalahan. Sehingga
Berbagai persoalan menyangkut
pendidikan semakin mencuat. Terutama yang berkaitan dengan finansial yang
menjadi beban orang tua. Misalnya, uang DSP yang setiap tahun naik, pembelian
buku pelajaran setiap semester, dan pungutan-pungutan lainnya yang insidentil.
Apabila diperhatikan, berbagai kritik soal
pendidikan belum menyentuh pada esensi persoalan pendidikan yang sebenarnya
sedang terjadi saat ini. Masyarakat, termasuk juga sebagian besar elit politik
masih memandang bahwa pendidikan seperti komoditas konsumsi sesaat. Ibarat
sebatang rokok yang hanya dapat dinikmati beberapa menit saja, sehingga layak
mempertanyakan apabila harga sebatang rokok itu terus naik.
Pendidikan bukanlah komoditas yang hanya dapat
dinikmati hari ini juga, pendidikan akan memberi refleksi kontinyu terhadap
kehidupan seseorang yang menjalaninya. Sebut saja, seorang anak yang sedang
sekolah di Perguruan Tinggi, akan memberi label kebanggaan pada keluarganya,
akan mengerti dan memahami bagaimana cara berbuat baik pada orang tuanya, di
samping memperoleh manfaat ilmu yang didapatnya. Dan yang lebih berharga, jika
anak tersebut mampu mengaktualisasikan kompetensinya untuk hidup layak dalam
lingkungan masyarakatnya. Dengan demikian, refleksi pendidikan ini akan terus
berlanjut dan membawa manfaat abadi bagi seseorang sepanjang hayatnya.
Dari contoh fenomena di atas, maka sebenarnya yang
perlu dipikirkan saat ini adalah sejauh mana kompetensi kurikulum dapat
ditransfer dan diaplikasikan pada siswa dan mahasiswa sehingga menjadi bekal
yang optimal ke depan. Maka apabila hal ini yang terjadi, semahal apapun biaya
yang dikeluarkan hari ini, ternyata tidak seberapa dibanding dengan kualitas
dan manfaat pendidikan yang diperoleh anaknya untuk bekal kehidupan masa
depannya.
Untuk memenuhi tuntutan kualitas tersebut, maka
beberapa agenda pendidikan yang menjadi pekerjaan rumah sekarang, perlu
dirumuskan melalui wacana berpikir logis. Tidak sebatas pakar dan praktisi
pendidikan, tetapi orang tua dan masyarakat sebagai konsumen pun harus terlibat
menyikapi pendidikan sebagai kebutuhan yang sangat prioritas. Apabila hal ini
telah terjadi, maka sekerap apapun anak membeli buku, sepanjang buku tersebut
memenuhi syarat bagi kebutuhan peningkatan kompetensinya, maka tidak akan
menjadi beban dan keluhan orang tua seperti yang saat ini terjadi.
Negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat,
Jepang, Korean Selatan, termasuk Malaysia sekarang, memahami bahwa buku adalah
konsumsi harian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya sehari-hari,
terlebih anak sekolah sebagai generasinya. Sementara, masyarakat kita hanya
sebagian kecil saja yang telah memiliki budaya baca, dan penasaran terhadap
kehadiran buku-buku baru, sehingga terbiasa membagi keuangan untuk membeli buku
secara rutin, meskipun koceknya tipis.
Ironis, apabila dalam konteks masyarakat saat ini,
yang umumnya paling tidak telah mampu memiliki sepeda motor, di kampung
sekalipun. Tetapi belum mampu mengkondisikan kebutuhan buku dalam
kesehariannya, paling tidak untuk anaknya yang masih sekolah.
Maka, fenomena masyarakat seperti di atas menjadi
sasaran empuk para jurkam untuk menarik suara pemilih dengan memanfaatkan
momentum pendidikan yang terjadi saat ini. Dengan demikian, tema kampanye
menyoal pendidikan, termasuk tim sukses SBY-Kalla, kiranya belum bisa diharapkan
menjadi solusi peningkatan mutu pendidikan yang realistis.
No comments:
Post a Comment