Barangkali bagi kita sudah memaklumi bahwa pendidikan
senantiasa dihadapkan pada fenomena perubahan. Hal itu sejalan dengan
perkembangan zaman yang fitrahnya selalu berubah. Perubahan pendidikan adalah
suatu kelayakan dan tuntutan. Terlebih di saat masyarakat dihadapkan pada masa
yang lazim disebut sebagai era milenium.
Sejalan
dengan era milenium, dan struktur pemerintahan Indonesia dengan otonomi
daerahnya, maka pendidikanpun beradaptasi dengan membenahi strategi dan sistem
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini. Sebagai bagian dari pola
pengembangan daerah (khususnya Jawa Barat), secara spesifik Dinas Pendidikan
Propinsi Jawa Barat menggelar inovasi dengan apa yang disebut ‘Manajemen
Berbasis Sekolah’ (MBS).
Latar Belakang Sosial
Manajemen Berbasis Sekolah
dilatar belakangi oleh berbagai konteks yang ada di negeri kita ini. Terutama
konteks politik, ekonomi, dan sosial.
Dikatakan menjadi model baru untuk saat ini,
karena; Pertama, pendidikan pasca orde baru, dan memasuki masa
reformasi, mengalami distorsi materi kurikulum karena terjadinya perubahan
kebijakan politik nasional. Sebagai contoh dicabutnya Eka Prasetya Pancakarsa
(P4), menyebabkan pembelajaran PPKn mengalami pembiasan, hingga sudah barang
tentu setiap guru PPKn akan mengambil inisiatif tidak menyampaikan materi P4
yang telah menjadi bagian materi pada GBPP PPKn (Kurikulum 1994 plus Suplemen 1999). Guru berinisiatif mengambil
kebijakan itu, karena memang kurikulum tidak serta merta berubah menyesuaikan
dengan keadaan.
Kedua,
tatanan negara yang melahirkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dengan diperluasnya otonomi daerah, sehingga terjadi
banyak pelimpahan wewenang pusat ke daerah ----termasuk masalah
pendidikan---memungkinkan terjadinya desentralisasi pendidikan. Kebijakan tersebut menjadi peluang besar bagi
keterlibatan penuh para praktisi pendidikan di daerah. Hal itu telah dibuktikan
di Jawa Barat melalui implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini.
MBS sebagai Model Baru Startegi Pendidikan
Manajemen
Berbasis Sekolah, yang lazim pula dikenal dengan sebutan School Based
Manajemen (SBM) merupakan strategi dalam upaya menciptakan mutu dan layanan
pendidikan yang baik bagi masyarakat, sesuai dengan harapan sebuah bangsa yang sedang menghadapi
tantangan global ini.
Dalam
tataran MBS, ketergantungan pendidikan, dalam hal ini sekolah terhadap overheids
akan berkurang. Sebaliknya sekolah dipertaruhkan hidup dan matinya di atas
kepedulian masyarakat. Pada konsep MBS, demikian jelas bahwa peran masyarakat
melalui lembaga Dewan Sekolah dituntut menjadi stakeholders menggantikan
sebagaian besar peran pemerintah yang
selama ini menangani tumbuh kembangnya sekolah.
Secara lebih jelas, kita dapat mengambil asumsi bahwa peran BP3 yang
selama ini hanya sebagai badan pembantu, justeru ke depan setelah dikembangkan
menjadi Dewan Sekolah akan menjadi lembaga protagonis terhadap upaya
membina kualitas sekolah. Hal itu dibuktikan dengan proporsionalitas peran
orang tua dan masyarakat dalam Dewan Sekolah.
Sebelum menganalisis lebih lanjut, dapat kita perhatikan wewenang Dewan
Sekolah menurut konsep MBS antara lain sebagai berikut;
1.
Bersama-sama dengan pihak sekolah menetapkan RAPBS.
2.
Mengkaji kinerja sekolah.
3.
Mendorong sekolah untuk melakukan internal
monitoring (school self-assessment) dan melaporkan hasilnya untuk dibahas
dalam forum Dewan Sekolah.
4.
Merekomendasikan kepala sekolah atau guru yang
berprestasi dan memenuhi persyaratan profesional serta administratif secara
normatif sesuai peraturan (hukum) yang berlaku untuk promosi dan mutasi yang
diajukan kepada pihak berwenang, dalam hal ini Kepala Dinas Pendidikan
Kecamatan, Kota atau Kabupaten.
5.
Menerima kepala sekolah dan guru yang promosi atau
mutasi dari sekolah lain sesuai dengan persyaratan profesional dan
administratif secara normatif sesuai peraturan (hukum) yang berlaku untuk
promosi dan mutasi.
6.
Merekomendasikan bagi kepala sekolah atau guru yang
melanggar etika profesional dan administratif secara normatif, sesuai peraturan
(hukum) yang berlaku, dan diajukan kepada pihak berwenang untuk
ditindaklanjuti.
Kendala yang mungkin terjadi
Setelah kita melihat dan dapat membandingkan
kewenangan Dewan Sekolah yang lebih komprehensif dibanding BP3, maka merupakan
kewajaran bila muncul pertanyaan-pertanyaan sekitar pelaksanaan MBS tersebut.
Dan pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya pasti ada mengiringi berlangsungnya
sosialisasi dan pelaksanaan MBS. Adapun bentuk pertanyaan itu tentunya kita
akan sepakat seperti berikut;
o Apakah
semua aparat pendidikan terutama guru dan kepala sekolah telah memahami konsep
MBS ?
o Bagaimana
dengan pemahaman masyarakat dengan MBS ?
o Apakah
semua masyarakat siap menerima peran partisipatif dalam mendukung kemajuan
sekolah ?
o Apakah
potensi masyarakat dapat diandalkan menjadi daya dukung sebagaimana harapan MBS
ditengah kondisi ekonomi, sosial dan politik seperti saat ini ?
Keempat pertanyaan di atas melebur ke dalam konteks
sosial politik yang sedang berkembang saat ini. Pasalnya, seluruh segmen
masyarakat sedang dalam kondisi multi transisi. Konsentrasi pada suatu
persoalan yang membutuhkan pemikiran logis dan sikap profesional---semacam
menghadapi pendidikan---masih diragukan.
Bayangkan saja, drama sosial lewat tawuran antar warga, hingga drama politik
melalui ‘Gelar Tinju MPR’ tempo lalu, apa mungkin kondisi masyarakat seperti
ini mampu diajak kompromi untuk berpikir masalah pembentukan budi pekerti
generasinya? Belum lagi keterpurukan ekonomi yang masih membelit rakyat miskin,
terutama di kebanyakan pedesaan. Pada tataran ini, sekolah-sekolah di pedesaan
dibuat berpikir keras merancang formula
yang tepat untuk sebuah komposisi Dewan Sekolah yang mampu mendukung
program-programnya. Kesulitan sekolah-sekolah di pedesaan dalam membentuk Dewan
Sekolah, terutama pada masalah figur yang tepat. Kesulitan tersebut didasarkan
pula pada semakin tumbuhnya sikap
konsumtif dan individualisme yang sudah merasuk hingga masyarakat
pedesaan. Ditambah dengan melunturnya semangat kooperatif dalam mewujudkan
kepentingan bersama. Maka suatu kewajaran apabila muncul kekuatiran andaikata
lembaga Dewan Sekolah yang non profit itu, justeru menjadi arena para
oponturir.
Kendala
terbentuknya Dewan sekolah tidak sekedar faktor potensi masyarakat dan orang
tua saja. Tetapi dari dalam lingkungan pendidikan itu sendiri, ada kesan pro
dan kontra. Bagi yang pro, tentunya karena melihat potensi masyarakat
lingkungannya memiliki prospek ke depan. Sementara bagi yang kontra, terkesan
ada kekuatiran terkuaknya tabir ketertutupan-ketertutupan yang selama ini
terjadi. Sementara berdampingan dengan Dewan Sekolah akan menuntut transfaransi
sebagai sebuah tradisi.
Kekuatiran
lain, apa tidak menutup kemungkinan Dewan Sekolah (DS) akan mirip dengan
kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) pada struktur pemerintahan desa ?
Kita
menyaksikan pada kebanyakan desa lembaga BPD itu ternyata pasif dan tidak
produktif. Malahan ada di antaranya bersikap konfrontatif terhadap Kepala Desa
sebagai akibat kurang terjalinnya koordinasi dan kerja sama yang baik.
Bila fenomena
di atas, menjangkiti tubuh Dewan Sekolah, bukan tidak mungkin melahirkan banyak
rekomendasi Dewan Sekolah yang berbau subjektif terhadap figur-figur sekolah.
Menyadari ke
arah itu, tidak berarti bahwa MBS harus ditunda. Dan satu kemustahilan apabila
strategi pendidikan ini harus berjalan di tempat. Terlebih alangkah naifnya
bila mundur ke belakang. MBS dan Dewan Sekolahnya adalah sebuah alternatif yang
harus disikapi secara arif, dan ditanggapi positif. Demikian pula MBS akan
mencapai titik harapannya apabila semua potensi yang terlibat memiliki kesiapan
dalam memainkan peran dan fungsinya. Dari mulai Decission Maker wajib
menuntaskan sosialisasi dan pembinaannya melebar dan menukik kepada figur-figur
terkait, sehingga MBS ini benar-benar dipahami dan dimengerti. Adapun praktisi
pendidikan, termasuk figur-figur di sekolah wajib mengakomodasikan dan
mengimplementasikan kebijakan ini dalam tatanan tugas kependidikan keseharian.
Kemandirian
sekolah sebagaimana yang diharapkan MBS, akan terwujud bila tercipta soliditas
Dewan Sekolah. Demikian pula antara pihak sekolah (kepala sekolah dan guru)
dengan Dewan Sekolah perlu mengkaji sejauh mana peranan yang dapat difungsikan
sesuai dengan tanggungjawabnya, sehingga pada pelaksanaannya terjadi sinergi
yang kuat dan kompetitif dengan sekolah lain. Apabila suasana ini telah
tercipta dengan kondusif, maka setiap sekolah akan terus berupaya memposisikan
sekolahnya masing-masing pada level kualitas tertinggi. Karena pada level
inilah masyarakat akan menyimpan kepercayaan sekaligus memberikan apa saja yang
diharapkan pihak sekolah. Inilah merupakan bentuk investasi yang harus diraih
sekolah dalam rangka implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.
Pengaruhnya pada perbaikan
mutu kehidupan sosial.
Sekolah dengan implentasi MBS, diharapkan
menciptakan sebuah produk pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat saat
ini. Pendidikan memang memegang peranan yang penting dan strategis, terlebih di
saat-saat bangsa ini sedang dilanda multi krisis (krisis moneter, krisis
mental, krisis keercayaan, krisis kebersamaan, dan krisis integrasi bangsa).
Pendidikan perlu menjadi solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat
tersebut.
Adapun hal-hal
yang mungkin tercipta setelah sekolah berhasil mengimplementasikan MBS dengan
baik antara lain sebagai berikut;
o
Menumbuhkan sikap masyarakat dalam menempatkan
pendidikan sebagai basis utama dalam mendukung kehidupan sehari-harinya. Iklim
ini dibina melalui dinamika sosial pada lembaga Dewan Sekolah.
o
Semakin menumbuhkan sikap profesional pada
kepala sekolah dan guru. Sebab apabila sikap ini diabaikan, bukan tidak mungkin
ia akan tergelincir oleh pranata pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh,
berangsur-angsur dimulainya periodisasi kepemimpinan sekolah selama empat
tahun, menjadi sinyal bagi kepala sekolah, apakah ia berhasil untuk lolos
menempuh periode empat tahun berikutnya? Atau ia harus dengan rela kembali
menjadi guru. Fenomena itu ke depan akan menjadi warna baru dalam kehidupan
pendidikan dasar dan menengah, dan tentunya sudah menjadi kelayakan bila terjadi.
Bagi kita, praktisi pendidikan pada dasarnya akan
lapang dada menyikapi setiap perubahan yang ada. Demi kemajuan mutu pendidikan,
jiwa inovatif akan senantiasa fleksible menerima setiap tantangan yang
dihadapi. Konsekwensinya, masyarakatpun yakin akan menghargai setiap upaya yang
ditempuh kita, dan mereka akan memposisikan diri sebagai pendukung cita-cita
pendidikan. Insya Alloh.***
No comments:
Post a Comment