Saturday, June 16, 2012

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Sebuah Alternatif Strategi Pendidikan


Barangkali bagi kita sudah memaklumi bahwa pendidikan senantiasa dihadapkan pada fenomena perubahan. Hal itu sejalan dengan perkembangan zaman yang fitrahnya selalu berubah. Perubahan pendidikan adalah suatu kelayakan dan tuntutan. Terlebih di saat masyarakat dihadapkan pada masa yang lazim disebut sebagai era milenium.
            Sejalan dengan era milenium, dan struktur pemerintahan Indonesia dengan otonomi daerahnya, maka pendidikanpun beradaptasi dengan membenahi strategi dan sistem untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini. Sebagai bagian dari pola pengembangan daerah (khususnya Jawa Barat), secara spesifik Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat menggelar inovasi dengan apa yang disebut ‘Manajemen Berbasis Sekolah’ (MBS).

Latar Belakang Sosial
Manajemen Berbasis Sekolah dilatar belakangi oleh berbagai konteks yang ada di negeri kita ini. Terutama konteks politik, ekonomi, dan sosial.
             Dikatakan menjadi model baru untuk saat ini, karena; Pertama, pendidikan pasca orde baru, dan memasuki masa reformasi, mengalami distorsi materi kurikulum karena terjadinya perubahan kebijakan politik nasional. Sebagai contoh dicabutnya Eka Prasetya Pancakarsa (P4), menyebabkan pembelajaran PPKn mengalami pembiasan, hingga sudah barang tentu setiap guru PPKn akan mengambil inisiatif tidak menyampaikan materi P4 yang telah menjadi bagian materi pada GBPP PPKn (Kurikulum 1994 plus  Suplemen 1999). Guru berinisiatif mengambil kebijakan itu, karena memang kurikulum tidak serta merta berubah menyesuaikan dengan keadaan.
            Kedua, tatanan negara yang melahirkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan diperluasnya otonomi daerah, sehingga terjadi banyak pelimpahan wewenang pusat ke daerah ----termasuk masalah pendidikan---memungkinkan terjadinya desentralisasi pendidikan.  Kebijakan tersebut menjadi peluang besar bagi keterlibatan penuh para praktisi pendidikan di daerah. Hal itu telah dibuktikan di Jawa Barat melalui implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini.

          MBS sebagai Model Baru Startegi Pendidikan
            Manajemen Berbasis Sekolah, yang lazim pula dikenal dengan sebutan School Based Manajemen (SBM) merupakan strategi dalam upaya menciptakan mutu dan layanan pendidikan yang baik bagi masyarakat, sesuai dengan harapan  sebuah bangsa yang sedang menghadapi tantangan global ini.
            Dalam tataran MBS, ketergantungan pendidikan, dalam hal ini sekolah terhadap overheids akan berkurang. Sebaliknya sekolah dipertaruhkan hidup dan matinya di atas kepedulian masyarakat. Pada konsep MBS, demikian jelas bahwa peran masyarakat melalui lembaga Dewan Sekolah dituntut menjadi stakeholders menggantikan sebagaian besar  peran pemerintah yang selama ini menangani tumbuh kembangnya sekolah.
Secara lebih jelas, kita dapat mengambil asumsi bahwa peran BP3 yang selama ini hanya sebagai badan pembantu, justeru ke depan setelah dikembangkan menjadi Dewan Sekolah akan menjadi lembaga protagonis terhadap upaya membina kualitas sekolah. Hal itu dibuktikan dengan proporsionalitas peran orang tua dan masyarakat dalam Dewan Sekolah. 
Sebelum menganalisis lebih lanjut, dapat kita perhatikan wewenang Dewan Sekolah menurut konsep MBS antara lain sebagai berikut;
1.      Bersama-sama dengan pihak  sekolah menetapkan RAPBS.
2.      Mengkaji kinerja sekolah.
3.      Mendorong sekolah untuk melakukan internal monitoring (school self-assessment) dan melaporkan hasilnya untuk dibahas dalam forum Dewan Sekolah.
4.      Merekomendasikan kepala sekolah atau guru yang berprestasi dan memenuhi persyaratan profesional serta administratif secara normatif sesuai peraturan (hukum) yang berlaku untuk promosi dan mutasi yang diajukan kepada pihak berwenang, dalam hal ini Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan, Kota atau Kabupaten.
5.      Menerima kepala sekolah dan guru yang promosi atau mutasi dari sekolah lain sesuai dengan persyaratan profesional dan administratif secara normatif sesuai peraturan (hukum) yang berlaku untuk promosi dan mutasi.
6.      Merekomendasikan bagi kepala sekolah atau guru yang melanggar etika profesional dan administratif secara normatif, sesuai peraturan (hukum) yang berlaku, dan diajukan kepada pihak berwenang untuk ditindaklanjuti.

Kendala yang mungkin terjadi

Setelah kita melihat dan dapat membandingkan kewenangan Dewan Sekolah yang lebih komprehensif dibanding BP3, maka merupakan kewajaran bila muncul pertanyaan-pertanyaan sekitar pelaksanaan MBS tersebut. Dan pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya pasti ada mengiringi berlangsungnya sosialisasi dan pelaksanaan MBS. Adapun bentuk pertanyaan itu tentunya kita akan sepakat seperti berikut;
o   Apakah semua aparat pendidikan terutama guru dan kepala sekolah telah memahami konsep MBS ?
o   Bagaimana dengan pemahaman masyarakat dengan MBS ?
o   Apakah semua masyarakat siap menerima peran partisipatif dalam mendukung kemajuan sekolah ?
o   Apakah potensi masyarakat dapat diandalkan menjadi daya dukung sebagaimana harapan MBS ditengah kondisi ekonomi, sosial dan politik seperti saat ini ?
Keempat pertanyaan di atas melebur ke dalam konteks sosial politik yang sedang berkembang saat ini. Pasalnya, seluruh segmen masyarakat sedang dalam kondisi multi transisi. Konsentrasi pada suatu persoalan yang membutuhkan pemikiran logis dan sikap profesional---semacam menghadapi  pendidikan---masih diragukan. Bayangkan saja, drama sosial lewat tawuran antar warga, hingga drama politik melalui ‘Gelar Tinju MPR’ tempo lalu, apa mungkin kondisi masyarakat seperti ini mampu diajak kompromi untuk berpikir masalah pembentukan budi pekerti generasinya? Belum lagi keterpurukan ekonomi yang masih membelit rakyat miskin, terutama di kebanyakan pedesaan. Pada tataran ini, sekolah-sekolah di pedesaan dibuat berpikir  keras merancang formula yang tepat untuk sebuah komposisi Dewan Sekolah yang mampu mendukung program-programnya. Kesulitan sekolah-sekolah di pedesaan dalam membentuk Dewan Sekolah, terutama pada masalah figur yang tepat. Kesulitan tersebut didasarkan pula pada semakin tumbuhnya sikap  konsumtif dan individualisme yang sudah merasuk hingga masyarakat pedesaan. Ditambah dengan melunturnya semangat kooperatif dalam mewujudkan kepentingan bersama. Maka suatu kewajaran apabila muncul kekuatiran andaikata lembaga Dewan Sekolah yang non profit itu, justeru menjadi arena para oponturir.
Kendala terbentuknya Dewan sekolah tidak sekedar faktor potensi masyarakat dan orang tua saja. Tetapi dari dalam lingkungan pendidikan itu sendiri, ada kesan pro dan kontra. Bagi yang pro, tentunya karena melihat potensi masyarakat lingkungannya memiliki prospek ke depan. Sementara bagi yang kontra, terkesan ada kekuatiran terkuaknya tabir ketertutupan-ketertutupan yang selama ini terjadi. Sementara berdampingan dengan Dewan Sekolah akan menuntut transfaransi sebagai sebuah tradisi.
Kekuatiran lain, apa tidak menutup kemungkinan Dewan Sekolah (DS) akan mirip dengan kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) pada struktur pemerintahan desa ?
Kita menyaksikan pada kebanyakan desa lembaga BPD itu ternyata pasif dan tidak produktif. Malahan ada di antaranya bersikap konfrontatif terhadap Kepala Desa sebagai akibat kurang terjalinnya koordinasi dan kerja sama yang baik.
Bila fenomena di atas, menjangkiti tubuh Dewan Sekolah, bukan tidak mungkin melahirkan banyak rekomendasi Dewan Sekolah yang berbau subjektif terhadap figur-figur sekolah.
Menyadari ke arah itu, tidak berarti bahwa MBS harus ditunda. Dan satu kemustahilan apabila strategi pendidikan ini harus berjalan di tempat. Terlebih alangkah naifnya bila mundur ke belakang. MBS dan Dewan Sekolahnya adalah sebuah alternatif yang harus disikapi secara arif, dan ditanggapi positif. Demikian pula MBS akan mencapai titik harapannya apabila semua potensi yang terlibat memiliki kesiapan dalam memainkan peran dan fungsinya. Dari mulai Decission Maker wajib menuntaskan sosialisasi dan pembinaannya melebar dan menukik kepada figur-figur terkait, sehingga MBS ini benar-benar dipahami dan dimengerti. Adapun praktisi pendidikan, termasuk figur-figur di sekolah wajib mengakomodasikan dan mengimplementasikan kebijakan ini dalam tatanan tugas kependidikan keseharian.
Kemandirian sekolah sebagaimana yang diharapkan MBS, akan terwujud bila tercipta soliditas Dewan Sekolah. Demikian pula antara pihak sekolah (kepala sekolah dan guru) dengan Dewan Sekolah perlu mengkaji sejauh mana peranan yang dapat difungsikan sesuai dengan tanggungjawabnya, sehingga pada pelaksanaannya terjadi sinergi yang kuat dan kompetitif dengan sekolah lain. Apabila suasana ini telah tercipta dengan kondusif, maka setiap sekolah akan terus berupaya memposisikan sekolahnya masing-masing pada level kualitas tertinggi. Karena pada level inilah masyarakat akan menyimpan kepercayaan sekaligus memberikan apa saja yang diharapkan pihak sekolah. Inilah merupakan bentuk investasi yang harus diraih sekolah dalam rangka implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.

Pengaruhnya pada perbaikan mutu kehidupan sosial.
Sekolah dengan implentasi MBS, diharapkan menciptakan sebuah produk pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat saat ini. Pendidikan memang memegang peranan yang penting dan strategis, terlebih di saat-saat bangsa ini sedang dilanda multi krisis (krisis moneter, krisis mental, krisis keercayaan, krisis kebersamaan, dan krisis integrasi bangsa). Pendidikan perlu menjadi solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat tersebut.
Adapun hal-hal yang mungkin tercipta setelah sekolah berhasil mengimplementasikan MBS dengan baik antara lain sebagai berikut;
o   Menumbuhkan sikap masyarakat dalam menempatkan pendidikan sebagai basis utama dalam mendukung kehidupan sehari-harinya. Iklim ini dibina melalui dinamika sosial pada lembaga Dewan Sekolah.
o   Semakin menumbuhkan sikap profesional pada kepala sekolah dan guru. Sebab apabila sikap ini diabaikan, bukan tidak mungkin ia akan tergelincir oleh pranata pendidikan itu sendiri. Sebagai contoh, berangsur-angsur dimulainya periodisasi kepemimpinan sekolah selama empat tahun, menjadi sinyal bagi kepala sekolah, apakah ia berhasil untuk lolos menempuh periode empat tahun berikutnya? Atau ia harus dengan rela kembali menjadi guru. Fenomena itu ke depan akan menjadi warna baru dalam kehidupan pendidikan dasar dan menengah, dan tentunya sudah menjadi kelayakan  bila terjadi.
Bagi kita, praktisi pendidikan pada dasarnya akan lapang dada menyikapi setiap perubahan yang ada. Demi kemajuan mutu pendidikan, jiwa inovatif akan senantiasa fleksible menerima setiap tantangan yang dihadapi. Konsekwensinya, masyarakatpun yakin akan menghargai setiap upaya yang ditempuh kita, dan mereka akan memposisikan diri sebagai pendukung cita-cita pendidikan. Insya Alloh.***

No comments:

Post a Comment